pradna.com – Setelah menonton film Srimulat Babak Pertama : Hil yang Mustahal, saya jadi beranggapan : salah satu keajaiban Indonesia adalah Srimulat

srimulat hil yang mustahal
Tiket Srimulat Babak Pertama : Hil yang Mustahal

Bagaimana tidak?

Lawakan Srimulat dari dulu ya begitu-begitu saja tapi ajaibnya, mau ditonton berapa kalipun kok ya masih saja bikin tertawa. Bahkan aku yang terus menerus melihat teaser di review-review filmnya ini, ketika melihat lagi adegan yang sama di filmnya kok ya masih ketawa aja.. sungguh suatu hil yang mustahal ! :))

Ajaibnya lagi, walau aku sudah tau kalau film besutan Fajar Nugros ini selalu mendapat nilai tinggi di setiap reviewnya, pun reaksi sangat postif dari netijen-netijen yang sudah melihat filmnya. Tapi, seperti dulu kala kalau mau melihat Srimulat tampil di TV, selalu males-malesan kalau mau nonton, mau nonton film bioskopnya ini juga ngrasa males banget. Ya mau gimana lagi, sebelum nonton, mau dulu di TV atau sekarang di bioskop, yang kebayang duluan itu gaya lawakannya yang begitu-begitu aja ya kan. Tapi akhirnya dengan semangat : buat nambah satu penonton buat film ini, aku masih kebagian layar di hari-hari terakhir (Aku nonton di Bioskop Legendaris Purwokerto, Rajawali dan di CGV sudah turun layar). Dan seperti yang aku tulis di atas, ajaibnya, aku tenggelam dalam tawa tak bersudah selama nonton filmnya :-))

Begini ya, membuat suatu joke atau punchline itu tidak mudah. Makanya, tidak mengherankan jika komedian atau pelawak, membawakan lawakan yang sama di berbagai kota ketika dia manggung. Nah masalahnya, di jaman sekarang ini, banyak netijen yang selalu mengikuti pelawak favoritnya di Youtube. Trus dengan ke-maha justice warrior-annya bersabda, “ih, joke-nya itu-itu aja, ga ganti-ganti!”

Yaa mohon ampuun bambwaangg…

Mereka itu bukan pabrik lelucon yang bisa mencetak lelucon beda tiap hari… mereka adalah produsen lelucon, yang membuat sesuatu lawakan dalam serial tour panggungnya. Jadi ya memang joke mereka untuk penonton dalam satu daerah yang belum pernah menikmati punchline yang mereka bawakan.

Lha, memangnya Anda kira joke itu seperti lagu yang bisa dinikmati kapan saja secara terus menerus?

Ya ndak gitu konsepnya. Mangkanya, hayuk lah mulai kita bangun kesadaran : mana dunia panggung, mana dunia streaming

Cumaan… memang di dunia ini selalu saja ada anomali. Selalu saja ada pengecualian.

Salah satu anomali dunia lawak adalah Srimulat.

Anomali Dunia Lawak : Srimulat

Srimulat adalah grup lawak panggung old school. Artinya, seperti kesenian panggung lain pada masanya, seperti Ketoprak, Ludruk, Wayang orang, Lenong, Grup Lawak, Grup Drama dan lainnya, Srimulat tidak mengandalkan skrip naskah pentas.

Sesaat akan pentas, biasanya hanya mendapat briefing sebentar, kalau di Srimulat disebut “Penuangan“, dikasih tau bagaimana ceritanya, dibagi-bagi peran… dan sudah, selanjutnya mengandalkan improsisasi… eh.. improsisisisi.. emprovivisisi…

hayyaah… srimulat… srimulaaat…

… selanjutnya mengandalkan improvisasi para pemainnya.

Hil…

haaal

Hal yang menjadi ajaib adalah, Teguh Slamet Rahardjo, pendiri grup Srimulat (diambil dari nama istrinya, Raden Ayu Srimulat), selalu menekankan kepada pemainnya : kalau mau bertahan di sini, setiap pemain harus punya ciri khas lawakannya sendiri.

Padahal yang namanya ciri khas, itu kan sesuatu yang terus diulang-ulang hingga semua orang tau itu adalah kekhasannya si karakter tersebut.

Misal, Asmuni yang berperan sebagai karakter dewasa, tapi salah-salah ngomong terus… yaa seperti ngomong improsisasi .. eh, improvisasi itu

atau

Timbul yang selalu mencolok matanya sendiri ketika menunjuk sesuatu, atau salah minum di hidung alih-alih mulut

atau

Gogon yang selalu diam melipat tangan, tapi selalu melorot ke lantai kalau duduk di kursi

dan hampir semua pemain Srimulat yang lainnya

Artinya, setiap mereka manggung, kelucuannya ya bersumber dari ke-khasan masing-masing karakternya itu saja. Karena secara penceritaan, selalu dibuat sesimpel mungkin, karena mereka tampil tanpa naskah, jadi memudahkan para pemain untuk menjalin cerita, dan penonton pun tetap terhibur tanpa harus berpikir keras. Toh itulah inti hiburan rakyat, menghibur, bukannya menambah beban pikiran.

Jadi, dengan kelucuan yang repetitif itu, formula kelucuan yang diulang-ulang terus mulai dari 8 Agustus 1950 sejak dibentuknya Srimulat hingga 2022… 72 tahun! .. kok ya masih lucu aja lhoh… ajaib!

Gini deh, buat yang dulu sempat mengalami nonton langsung di panggung, atau generasi berikutnya yang melihat Srimulat sudah tampil di televisi, yang selalu diputar di hari lebaran dari pagi sampai sore yang bisa ditinggal salim-salim dulu sambil nyari wisit (amplop/angpau) dan ketika pulang rumah masih tetep aja ketawa-tawa melihat Srimulat (karena lawakannya, bukan karena angpaunya). Atau dari generasi 2 bocah umuran SD yang diajak keluarganya, rombongan duduk di belakangku ketika menonton film ini… semuanya masih bisa tertawa lepas menonton Srimulat.

Anyway, dua bocil di belakangku itu sampai menggoyang-goyangkan kursiku ketika mereka tertawa ngakak. Entah karena spirit Srimulat atau emang aku lagi ketawa sampai kesurupan aja, aku jadi tidak merasa sebel dengan aksi bocil-bocil ini…. sungguh hil yang mustahal terjadi di film lain.

Tidak Harus semua Lucu di Grup Lawak

Awalnya memangnya terasa janggal.

Dulu dunia lawak trennya memang lawak grup. Banyak sekali grup-grup lawak yang bermunculan. Lomba lawak-pun yang ikut kebanyakan grup-grup lawak. Tapi, baik yang kemudian terkenal atau tidak, selalu saja ada salah satu anggotanya yang tidak lucu.

Hingga berdekade kemudian terjawab oleh Tarsan, di film Srimulat ini.

Jadi tuh, Tarsan (nama asli : Toto Muryadi) sebelum bergabung dengan Srimulat, adalah pemain ketoprak dan drama panggung (terakhir di Loka Karya). Memang sih jadi sudah punya nama dan jam manggung yang tinggi, tapi kan drama dan ketoprak itu bukan lawak.

Apalagi, ini fakta di balik layar seorang Tarsan, Tarsan itu orangnya sangat disiplin. Bahkan sepanjang kariernya manggung atau shooting, tidak pernah terlambat sekalipun! … Wow, sungguh jadi kebayang betapa lempeng kepribadiannya ketika dibawa ke atas panggung.

Trus, di film ini ada satu adegan Tarsan mendapat “pencerahan”, kalau tidak bisa lucu, kamu harus bisa bikin temen-temenmu jadi lucu!

Oo… jadi gitu. Memang dimana-mana diperlukan kesadaran akan takdir masing-masing. Tau kelemahan diri sendiri, cari kekuatannya dan itu yang terus menerus dikuatkan.

Pakdhe Tarsan juga kasih penjelasan, peran batur (pembantu / ART) di setiap pertunjukan Srimulat itu sangat krusial. Para batur ini yang muncul pertama kali ketika layar dibuka. Dengan monolognya, dia harus membangun mood penonton untuk terus tetap menonton. Batur-batur ini juga yang menjaga ritme kelucuan. Jadi, ketika show dirasa sudah tidak lucu lagi, mereka harus cepat-cepat bikin lelucon. Ini kenapa sepanjang pertunjukan dari awal hingga layar ditutup, penonton tidak bakal berhenti tertawa… warbiayasa!

Oya, dari Tarsan ini juga jadi tau kenapa grup-grup kesenian dulu itu bisa tidak menggunakan skrip naskah. Kuncinya ada di jam terbang manggungnya. Semakin sering seseorang manggung, pemain akan semakin mudah beradaptasi dengan apapun cerita yang disodorkan oleh “dewan sutradara” masing-masing grup kesenian.

Ini juga yang dulu digunakan grup Srimulat untuk tes menerima anggotanya. Anggota baru yang ingin bergabung, cukup diberi kesempatan langsung manggung beneran selama seminggu penuh. Kalau dalam seminggu itu konsisten menunjukkan performanya, maka dia lulus dan bisa bergabung dengan keluarga besar Srimulat. Menurut Tarsan, biasanya yang membuat mereka bertahan di minggu pertama itu adalah karena mereka sudah memiliki jam terbang manggung di grup-grup kesenian sebelumnya, entah grup ketoprak, wayang orang, ludruk, lenong, lawak atau drama panggung.

Disebut keluarga besar Srimulat, karena dulu Srimulat memiliki lebih dari 100 orang yang tersebar di 3 cabang : Surabaya, Solo (yang kemudian pindah ke Semarang di penghujung kejayaan Srimulat dan dibubarka di tahun1989), dan Jakarta.

Film Srimulat Babak Pertama : Hil yang Mustahal

Nah, sekarang mari kita sedikit ngomongin filmnya 😀

Awal tulisan ini sempat aku singgung kalau awalnya aku “maju-mundur” mau nonton film ini, walau review-review film memberikan nilai bagus. Tapi sukurlah masih kebagian layar. Bersyukur karena memang sebagus itu filmnya.

Sebagai veteran sutradara Yo Wis Ben 1 sampai 3, film Srimulat ini memang paling pas disutradarai Fajar Nugros. Apalagi dia juga yang nulis naskahnya.

Bagaimana tidak, seorang Fajar Nugros bisa membuat orang Aceh, Teuku Rifku Wikana, nembang Jawa bagus banget! Aku yang dari dulu pelajaran nembang selalu jadi momok ini langsung insecure ngliatnya. Yaah, ini sih ga lepas dari bertalentanya Rifnu Wikana sebagai aktor senior, tapi kan teteep, atas keberanian keputusan Nugros yang bikin itu bisa terwujud di film ini.

Entah bagaimana, semua pemain di sini mirip-mirip banget dengan para pemain Srimulat asli di waktu mudanya. Padahal biasanya aktor-aktris yang main di film ini biasa berperan di penokohan yang tidak jauh-jauh dari anak-anak muda yang ganteng dan cantik, seperti keseharian mereka. Tapi di film ini, mereka pada melakukan usaha-usaha untuk “mendowngrade” ketampanan dan kecantikan mereka demi menjadi persona anggota Srimulat yang mereka perankan. Sebut saja tokoh utamanya Bio One, yang memerankan Gepeng, dia rela diet ekstrem sampe gepeng deh.

Sepanjang film, tidak peduli dari mana asal pemainnya, tokoh-tokoh Srimulat hampir terus menerus menggunakan bahasa Jawa. Karena di situlah salah satu konflik di film ini, kesulitan para pemain Srimulat muda ketika harus tampil di Ibu kota, sementara mereka belum bisa berbahasa Indonesia. Ya memang seperti itulah kondisi di tahun 1980an, tidak serta merta orang dari luar ibu kota bisa semua bisa berbahasa Indonesia.

Sebagai film komedi keluarga, ini adalah film simplifikasi dari segala hal nyata. Yang paling kerasa adalah ketika anggota Srimulat disuruh mencari ciri khas lawakannya masing-masing ketika sedang makan nasi padang, udah mereka trus pergi gitu aja ke pasar. Berpencar, dapat pengalaman masing-masing, trus pulang-pulang udah punya ciri khasnya masing-masing. Sesimpel itu :-))

Tentu saja ada juga beberapa peristiwa yang didramatisasi demi keperluan cerita. Tapi ya, kalau aku pribadi, sekali lagi kalau aku sendiri, rada berharap dramatisasinya itu adalah penampilan pertama Kabul sebagai Tessy. Memang sih di sini, di sepanjang film ditunjukkan galaunya Kabul karena merasa ga lucu di atas panggung.. wajar sih, dia kan mantan KKO (Marinirnya jaman dulu) 😀 . Yang kemudian akhirnya dia memutuskan jadi hansip tapi Tessy, tanpa diketahui teman-temannya sebelumnya. Tapi di bagian ini, aku kok merasa kurang dramatis aja penampilan perdananya sebagai Tessy yang teman-temannya aja belum tau sampai Kabul, eh, Tessy muncul perdana di panggung.

Bandingkan dengan cerita sebenarnya dari Tessy sendiri :

“Aku waktu gabung Srimulat disuruh jadi satpam. Dipasangkan dengan Abimanyu. Abimanyu ini ketika di keluar panggung aja orang-orang udah pada ketawa-ketawa. Lha aku, pemain baru… yak opo iki? Bingung, bingung… Akhirnya aku ambil riasan tuebal (dulu masing-masing anggota grup kesenian, apapun itu, memang harus bisa ngrias diri sendiri). Akhirnya aku pakai riasan tebal, trus aku ngumpet di dalam kamar. Dicari-cari, ‘Kabul mana? Kabul mana?’ . Aku diem ngumpet aja. Sampai akhirnya aku dipanggil buat masuk panggung. Aku masuk panggung pakai riasan tebal dan gaya kemayu gitu. Kuaget itu semua yang dipanggung sama penonton jadi ketawa-ketawa!”

Ih, itu kan asik sekali kalau lebih didramatisir lagi kejadiannya di film ^_^

Walau di film ini dengan cerdas, Fajar Nugros lebih memilih satu karakter yang dijadikan spotlight, daripada ceritanya tidak fokus karena banyaknya karakter. Dan karakter utama itu adalah Gepeng yang memang dulu jadi ikonnya Srimulat. Tapi fix baik di film ini atau di real life-nya, saya tep memfavoritkan sidekick-nya Gepeng : (mendiang) Basuki

Basuki memang das-des bras-bres lambenya :)) . Bahkan di film ini, dari awal ketika tokoh-tokohnya mulai galau mencari ciri khas lawakan, Basuki (diperankan Elang El Gibran) dah dengan pede bilang, modalku itu : lambeku! (mulutku)

Kebayang kan gimana lanyap-nya lambe mas Karyo di Si Doel Anak Sekolahan? 😀 . Menyenangkannya, di sini Basuki muda diduetkan dengan Si Doel tua ^_^

Ngomong-ngomong soal adegan menyenangkan, adegan yang paling menyenangkan buatku di sini adalah ketika Tarsan asli bertemu dengan Tarsan muda :))

Menyenangkannya itu adalah ketika mereka berdua ketemu, keliatan banget mikro-mikro gestur-nya Ibnu Jamil sebagai pemeran Tarsan muda itu lho, mirip bats!

Udah gitu aja ah, ketawa-ketawa terus kalo nginget-inget filmnya. Kalau pengen lengkap review filmnya, bisa dibaca-baca atau ditonton reviewer film yang lebih bonafide (nah kan dah mulai pakai kosa kata lama lagi) di website atau channel Youtube lainnya… #khukhukhu

Pokmen ga sabar nunggu Babak Keduanya tayang, dan ga bakal ragu-ragu lagi nontonnya deh.

Skor Film Srimulat Babak Pertama : Hil yang Mustahal : 8 / 10